Sunday 8 May 2016

Biografi Singkat dr. Cipto Mangunkusumo

“Tugas hidup saya baru mulai. Selamat tinggal”. Kata-kata yang aslinya ditulis dalam bahasa Belanda, “ mijn levenstaak begint pas, vaarweel” itu tertera dalam telegram dr. Cipto Mangunkusumo yang ditujukan kepada ayahnya. Waktu itu dipenjarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena kegiatan politik. Si ayah minta supaya meninggalkan kegiatan tersebut, tetapi Cipto menolak.

Beliau dilahirkan pada tahun 1886 di desa Pecangan, tempat asal ibunya, daerah Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya, Mangunkusumo, Kepala Sekolah rakyat di Ambarawa, kemudian pjndah ke Semarang, Cipto adalah putra sulung dari sembilan bersaudara.Umur 12 tahun Cipto menamatkan sekolah (Jawa) kelas II dan ELS, Europeesche Lagere School ( Sekolah Rendah Belanda).

Sesudah itu meneruskan pelajarannya ke STOVIA, (School Ter Opleiding Van Indische Artsen = Sekolah Dokter Bumiputera) di Jakarta. Ia terkenal cerdas, belajar dengan sungguh-sungguh dan bersemboyan, “Kewajiban pelajar ialah belajar, belajar, sekali lagi belajar”.

Ia menamatkan STOVIA pada tanggal 28 Oktober 1905 dan sebagai dokter ditempatkan di Banjarmasin. Setahun kemudian dipindahkan di Demak, Jawa Tengah, hingga tahun 1908. Di Demak itu mulai tampaklah “kenakalan” dr. Cipto Mangunkusumo. Ia berkeliling kota naik bendi (kereta kuda) dengan kap terbuka seperti tuan-tuan Belanda dan kanjeng bupati. Diam-diam rakyat senang kepada dr. Cipto, apalagi setelah ternyata selalu bersedia menolong rakyat kecil dengan memberikan pengobatan. Kalau perlu dengan cuma-cuma. Oleh karena itu nama dr. Cipto Mangunkusumo menjadi populer dikalangan rakyat dan mendapat gelar Dokter Jawa yang berbudi. Ia memang dekat dengan rakyat yang melarat. Dan tentang kemelaratan rakyat ini menyakini, bahwa yang menjadi sebab utama dari kemelaratan dan kebodohan rakyat adalah pemerintah Hindia Belanda yang kolonialistik dan feodalistik. Anak desa tidak pernah memperoleh kesempatan untuk maju dan karenanya tetap melarat dan bodoh, sedang anak bupati dapat mengganti ayahnya, meskipun tidak cukup kepandaiannya. Pemikiran demikian menyebabkan dr. Cipto berontak dalam hatinya. Pikiran itulah yang menyebabkan jiwanya terasa tertekan dan menyebabkan mengidap penyakit asma yang kronis, selalu kambuh bila ada yang memberatkan pikirannya.

Sikap memihak kepada rakyat kecil sudah nampak ketika Cipto masih belajar di STOVIA. Pimpinan sekolah itu mengharuskan setiap siswa menggunakan pakaian daerah masing-masing. Tetapi cipto memakai baju hitam dengan kain berwarna kelam dan ikat kepala dari batik yang dipakai secara sederhana. Pakaian itu adalah pakaian petani, pakaian rakyat jelata. la sendiri mengaku dirinya anak rakyat, anak si Kronis.

Disamping bekerja sebagai dokter, banyak menulis di surat kabar Belanda de Locomotief, terbitan Semarang. Tulisannya mengeritik dan menyerang pemerintah tentang cara memerintah yang feodalistik hingga rakyat makin melarat dan bodoh. Karena sikap dan tulisan-tulisannya itu pemerintah bersikap keras kepada dr. Cipto. Ia dipersilahkan memilih, kalau masih menulis terus, harus berhenti menjadi dokter pemerintah dan mengembalikan bea siswanya di STOVIA dulu, atau kalau mau tetap menjadi dokter pemerintah, Ia harus berhenti menulis. Dr. Cipto memilih berhenti dari jabatannya sebagai dokter pemerintah.

Kemudian pindah membuka praktek partikelir di Sala. Disana menunjukkan ”kenakalan” seperti waktu di Demak, berkeliling kota dengan bendinya, bahkan berputar-putar di alun-alun yang menjadi bagian dari keraton. Tidak ada larangan, maka tidak bisa dituntut karena itu, di kota inipun nama dr. Cipto cepat meningkat dikalangan rakyat yang diam-diam menyetujui sikapnya.

Dengan berdirinya ”Budi Utomo” (BU) masuk menjadi anggota. Bersama dr. Sutomo, pendiri BU, menghadiri kongres pertama BU pada 3 dan 4 Oktober 1908 di Yogyakarta. Dalam kongres itu dr. Cipto dalam pidatonya mengusulkan agar BU dijadikan organisasi politik yang bergerak secara demokratis (kerakyatan), terbuka untuk semua putera Indonesia dan janganlah mencari hubungan dengan pihak pemerintah. Dokter Cipto menolak pendapat, bahwa dalam hal kecerdasan bangsa Barat lebih dari bangsa Timur. Asalkan kesempatan diberikan, niscaya bangsa Timur pun akan berhasil dan tak akan kalah dengan bangsa Barat. Oleh karenanya pendidikan bagi bumiputera harus ditingkatkan.

Pendapat dr. Cipto itu ditentang oleh dr. Rajiman Widyodiningrat. Pikiran dr. Cipto yang jauh maju itu pada masa itu belum mendapat tempat di BU. Terbukti justru dalam kongres yang dipilih menjadi Ketua Pengurus Besar BU ialah R.T.A. Tirtokusumo, bupati Karanganyar, Jawa Tengah. Maka selanjutnya tidak tampak lagi dr. Cipto didalam BU, tetapi muncul dalam gerakan yang bersifat kebangsaan menuntut kemerdekaan dengan gerakannya yang revolusioner, yakni Indise Partij (IP).

Pada tahun 1910 daerah Kepanjen, Malang, Jawa Timur, dilanda wabah penyakit pes yang banyak membawa korban. Cipto Mangunkusumo menawarkan diri untuk memberantas penyakit itu. Tawarannya diterima oleh pemerintah, karena dokter Belanda takut menangani wabah itu.

Dengan kemauan yang keras dan bertaruh nyawa dr. Cipto menangani pemberantasan pes yang gawat. Siang malam bekerja demi kesehatan rakyat bangsanya dan demi perikemanusiaan, bukan demi pemerintah kolonial Belanda. Dalam melakukan tugasnya tidak menghiraukan pejabat-pejabat Belanda, sehingga Ia bertentangan dengan seorang kontrolir Belanda. Cipto dikalahkan dan dipindahkan. Namun demikian diam-diam pemerintah mengakui jasa dr. Cipto. Pada tahun 1912 mendapat bintang Ridder Orde van Oranye Nassau (kepahlawanan Belanda) bersama dengan dokter Belanda lainnya. Sebenarnya sama sekali tidak memerlukan bintang itu dan pun tidak menghargainya.

Dari pemberantasan wabah pes di Malang dengan segala pengorbanan dan pertaruhan, dr. Cipto memperoleh suatu kenangan-kenangan hidup yaitu anak bayi perempuan yang dipungutnya setelah kedua orang tuanya meninggal akibat penyakit pes. Anak itu diberi nama ”Pesiyati” yang setia hingga akhir hayat ayah angkatnya.

Tak lama kemudian daerah Sala terserang wabah pes pula. Dr. Cipto minta pada pemerintah agar ditugaskan memberantas wabah itu, tetapi permintaannya ditolak. Maka berangkatlah dr. Cipto ke Jakarta dengan kereta api. Bintang Ridder Orde van Oranye Nassau dipakainya, tetapi tidak disematkan pada dadanya dengan megah, melainkan pada kantung belakang celananya. Tiap serdadu Belanda yang melihatnya, selalu memberi hormat. Tidak kepada dr. Cipto, tetapi kepada pangkatnya yang ada bintang kepahlawanan Belanda. Ia datang ke Jakarta untuk mengembalikan bintang kepahlawanan itu kepada pemerintah.

Pada tahun 1912 perhatian dr. Cipto mulai benar-benar membelok kearah politik. Pertemuan dengan E.F.E. Douwes Dekker (DD) yang sesudah zaman kemerdekaan berganti nama Danudirja Setiabudhi, membawa kejenjang politik dan jurnalistik dengan mantap, Douwes Dekker adalah seorang Indo berdarah Belanda-Perancis-Jerman-Jawa dan wartawan yang sudah terkenal dengan pikiran-pikirannya tentang nasionalisme Hindia (Indier). Douwes Dekker menerbitkan majalah ”Het Tijdshrift”, kemudian harian ”De Express” mulai 1 Maret 1912. Dr. Cipto Mangunkusumo duduk sebagai anggota redaksi. Bulan September 1912 Douwes Dekker, dr. Cipto dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mengadakan propaganda keliling pulau Jawa dan pada 25 Desember 1912 mengumumkan berdirinya Indische Partij (IP), dengan ketua Douwes Dekker dan dr. Cipto menjadi wakil ketuanya, IP adalah partai politik dalam arti yang sesungguhnya.

Menjelang 1 November 1913, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan persiapan akan merayakan ”Peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari jajahan Perancis”. Akan diadakan pesta besar-besaran dengan memungut iuran dari rakyat lewat pangrehpraja. Maka tergeraklah hati dr. Cipto dan Suwardi Suryaningrat untuk mengadakan ”Komite Peringatan 100 tahun Kemerdekaan negeri Belanda” pula, disingkat ”Komite Bumiputera” (KBP) diketuai dr. Cipto dan Suwardi sebagai sekretarisnya. Anggotanya A.H.Wignyadisastra dan Abdul Muis dari redaksi ”Kaum Muda”.

Suwardi Suryaningrat menulis brosur yang berjudul ”Als ik eens Nederlander was” (Andaikata saya seorang Belanda) dan menyusul tulisan Cipto Mangunkusumo De Express, 26 Agustus 1913 yang berjudul ”Kracht of Vrees” (Kekuatan atau Ketakutan). Dua hari kemudian De Exspress memuat tulisan DD yang berjudul Een voor allen, maar ook allen voor een (satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu), Brosur SS dan tulisan-tulisan dalam ”De Express” itu menjadi alasan pemerintah kolonial bertindak, menangkap dan menahan dr. Cipto, Suwardi, Abdul Muis dan Wignyadisastra. Kemudian Douwes Dekker pun ditangkap karena menulis artikel yang memuji dr. Cipto dan Suwardi Suryaningrat sebagai ”Ouze Helden” (Pahlawan kita). Mereka ditahan di penjara Bandung. A.H. Wignyadisastra dan Abdul Muis dilepaskan beberapa hari kemudian.

Penangkapan mereka itu dilakukan secara luar biasa, yang menangkap polisi dikawal oleh sepasukan serdadu Belanda bersenjata. Tidak ada serdadu Jawa yang diikutkan. Pada waktu penangkapan, semua gedung pemerintah dikawal oleh serdadu bersenjata senapan dengan bayonet terhunus. Tidak kurang dari 1500 serdadu bersenjata bertugas pada waktu penangkapan itu, seperti menghadapi pemberontakan.
Dikalangan pemerintah diedarkan surat rahasia kepada kepala-kepala Pemerintahan di Jawa, bahwa dr. Cipto Mangunkusumo harus dipandang sebagai unsur yang paling berbahaya dan oleh karenanya harus diperhatikan benar-benar. Rupanya demikian takutlah pemerintah terhadap dr. Cipto Mangunkusumo dan kawan-kawannya.

Dimuka pengadilan terjadi tanya jawab antara ketua pengadilan deagan dr. Cipto, menolak untuk membuka rahasia siapa agen-agen ”Komite bumiputera” yang menyebarkan siaran-siarannya didaerah-daerah. Cipto sanggup memikul segala konsekuensinya. Akhirnya ketiga orang pimpinan itu Suwardi, Cipto, dan Douwes Dekker diputus dengan hukuman.

– Douwes Dekker dibuang ke Kupang, ibukota Timor Timur;
– Dr. Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda Neira, ibukota Amboina; dan
– Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka.

Hukuman pengasingan dalam negeri (Internering) itu atas permintaan mereka bertiga berubah menjadi pengasingan keluar negeri (externering) dan mereka memilih ke negeri Belanda. Pada tanggal 6 September 1913 berangkatlah mereka bertiga dan istri Suwardi Suryaningrat Sutartinah, dengan kapal milik maskapai Jerman ”Bullow” dengan perlindungan hukum intemasional. Waktu itu baru Suwardi Suryaningrat saja yang sudah beristri.

Di negeri Belanda mereka bertiga masuk menjadi anggota De Indise Vereniging yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Mereka menulis dalam majalah perkumpulan itu, ”Hindia Putera”, dan menerbitkan majalah ”De Indier”. Merekapun menulis dalam surat-surat kabar Belanda. Kehadiran mereka bertiga dan tulisan serta ceramah-ceramahnya sangat besar pengaruhnya kepada para mahasiswa Indonesia disana. Semangat dan perjuangan nasionalisme mereka dengan tujuan kemerdekaan tanah air tidak pernah surut.

Di negeri Belanda itu penyakit asma dr. Cipto kambuh agak parah. Oleh karena itu hanya setahun di pengasingan negeri Belanda. Tahun 1914 diizinkan kembali ke Jawa dan ditetapkan bertempat di Sala. Disana semangatnya tidak surut. Dengan cara menyolok berbuat semau-maunya, apa saja yang bertentangan dengan peri keadaan waktu itu di ibukota kerajaan yang serba menurut. Pada saat itu pun terus menulis di sural kabar Belanda. dr. Cipto yang menciptakan semboyan: Rawe-rawe rantas malang-malang putung (segala tali penghalang putus, semua rintangan patah). Karena pengaruhnya di Sala dianggap membahayakan, maka pada tahun 1920 diharuskan pindah kedaerah yang tidak berbahasa Jawa. dr. Cipto memilih Bandung dengan meninggalkan praktek dokternya yang laris dan “R.A.Kartini Club” -nya di Sala. Rakyat kecil di Sala kehilangan dokter yang berbudi, sebab tarifnya mahal untuk orang yang mampu, tetapi ringan untuk orang yang tidak mampu, bahkan rakyat kecil diberi pengobatan dengan cuma-cuma.

Di Bandung Dr. Cipto berhubungan rapat dengan kaum terpelajar muda, Ir. Sukarno dkk yang sedang sibuk mendirikan Algemene Studie Club yang kemudian berkembang menjadi “Partai Nasional Indonesia” (PNI), 1927. Pertukaran pikiran dengan kaum pergerakan mengembalikan gairah perjuangan dr. Cipto. Rumahnya ranjai dikunjungi orang-orang berobat dan malamnya untuk diskusi politik, sering sampai subuh.

Selain itu aktif pula membina Ksatrian Institut lembaga pendidikan yang didirikan oleh Douwes Dekker tahun 1922. Cipto pernah menjadi ketua Institut tersebut. Namun kegiatannya selalu dalam pengawasan ketat Pemerintah Hindia-Belanda. Rumahnya dikitari reserse dan kemanapun pergi dibayangi hingga akhirnya dijebak ikut menggerakkan pemberontakan PKI pada tahun 1926. Pada waktu rumah dr. Cipto digeledah, polisi menemukan buku tamunya yang antara lain terdapat nama tokoh-tokoh yang menggerakkan pemberontakan PKI. Itulah yang dijadikan alasan untuk menindak dr. Cipto, padahal sesungguhnya bukan komunis dan bukan anggota PKI. Berdasar surat keputusan Gubernur Jenderal 16 Desember 1927 dr. Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda Neira, ibukota Amboina.

Keberangkatannya ketempat pengasingan amat dirahasiakan, karena dikhawatirkan kaum nasionalis akan mengantarkannya dan membikin gaduh. Ia sekeluarga dipindahkan ke luar kota dan paginya pukul 5 diberangkatkan dengan kereta api dari Bandung ke Surabaya. Rahasia itu bocor pula dan sejumlah pemimpin dan kaum pergerakan mengantar dan menghormatinya di stasiun. Di stasiun Sala ayahnya, Pak guru Mangunkusumo, menemuinya untuk memberikan selamat jalan kepada puteranya. Sebelumnya dr. Cipto tidak diberi izin pergi ke Semarang untuk berpamitan dengan ayahnya. Di Surabaya dijemput dan dihormati oleh kaum pergerakan. Tampak menyambutnya dr. Sutomo yang pernah mengikuti dr. Cipto dalam “RA.Kartini Club”-nya di Malang dulu.

Di Banda Neira, pada mulanya penduduk takut mendekati dr. Cipto Mangunkusumo yang disiarkan secara luas oleh pemerintah sebagai orang yang amat berbahaya. Dokter Belanda disebelah rumahnya menolak memberi pertolongan waktu asma dr. Cipto kambuh. Namun setelah mereka tahu benar siapa dr. Cipto dan betapa perjuangannya, akhirnya mereka menjadi akrab. Demikian pula kepala pemerintahan di Banda Neira, yakni W.C. Kante. Ia pun mula-mula antipati kepada dr. Cipto, namun setelah mengenalnya secara dekat, berbalik menjadi simpati dan akrab. Kepada teman-teman sepahamnya menulis surat, antara lain berbunyi:
”Aku tidak sambat, aku tidak mengaduh, akupun tidak akan menyelidiki, sampai berapa aku mendapat siksa ini”. Kedatangan dua orang pimpinan rakyat yang senasib itu dapat meringankan beban batin dr. Cipto, namun kesehatannya tampak agak parah. Pemerintah ingin membebaskannya dan memulangkannya ke Pulau Jawa, tetapi dr. Cipto diminta terlebih dahulu menandatangani suatu kontrak, suatu perjanjian supaya melepaskan perjuangan politiknya. Permintaan itu ditolaknya mentah-mentah.

Rupanya karena sakitnya makin parah, pada tahun 1940 akhirnya dr. Cipto dipindahkan dari Banda Neira. Mula-mula ke Ujungpandang, kemudian ke Sukabumi. Justru ditempat dingin ini penyakit sering kambuh.
Mulai Februari 1936 Cipto mendapat teman dengan datangnya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Kedua tokoh pergerakan nasional ini dipindahkan dari tempat pembuangan di Digul ke Banda Neira.
la masih berada di Sukabumi pada waktu Jepang memusuhi Indone­sia. Beberapa orang pemimpin pergerakan nasional mengajaknya untuk bersama-sama memimpin rakyat, Cipto menolak. la tidak melihat ada manfaatnya bekerjasama dibawah kekuasaan Jepang.

Karena penyakitnya makin parah, pada tahun 1942 dr. Cipto dipindahkan oleh Jepang ke Jatinegara. Setelah penyakit asmanya makin memuncak Ia dirawat di Rumah Sakit ”Yang Tseng Ie”, Jakarta Kota. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1943 dr. Cipto Mangunkusumo wafat. Jenazahnya dikebumikan di makam keluarganya di Watu Ceper, Ambarawa.

Rakyat Indonesia mengakui sepenuhnya pengabdian dr. Cipto Mangunkusumo sepanjang hayatnya. Namanya tercatat sebagai pemimpin yang keras, jujur, berani ikhlas dan revolusioner.

Pemerintah RI berdasarkan SK Presiden RI No.109 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 menganugerahi dr. Cipto Mangunkusumo gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sumber : www.pahlawancenter.com

No comments:

Post a Comment